Jujur saya dulu bukan orang yang
berani untuk disunat. Makanya saat libur selesai UASBN saya tidak disunat.
Tahukan bagaimana posisi saya pada saat itu. Orang-orang banyak yang nge-bully.
Dibilangnya saya cemen, nggak jantan. Dibilangnya juga “durung joko”. Kalau
secara harfia itu artinya belum perjaka (berarti fase perjaka ada 3, belum
perjaka, perjaka, tidak perjaka).
Rasa malu saya pun sampai pada
puncaknya ketika ada anak yang umurnya 2 tahun lebih muda dari saya tetapi
sudah disunat. Berani sekali itu anak. Bullyan pun level up. Makin ada-ada aja
tingkah orang yang nge-bully saya seperti membawa cluritlah, paranglah. Tapi
sorry, meski malu saya tidak cengeng
digituin.
Setelah masuk SMP, saya pun
bertekad untuk disunat saat awal liburan semester 1. Saya tidak mau dibully
lagi. Orang tak berhak untuk ngebully saya. 4320 jam kemudian hari H pun tiba.
Dengan langkah yang mantap satu demi satu saya masuk ke ruang khitan. Setelah
di dalam saya pun merasakan sensasi suntikan pertama, kemudian kedua, kemudian ketiga,
kemudian keempat, kemudian sensasi jarum suntik yang dibiarkan menancap selama
5 menit. Aduh!
Setelah 30 menit proses
pemotongan berlangsung, saya pun keluar ruangan dengan rasa bangga dan ingin
berteriak “Aku sudah perjaka!” Sesampainya dirumah saya disambut layak seorang
presiden yang telah menang pemilu. Ramai sekali.
Seperti orang yang habis menikah,
saya juga mengalami malam pertama.
“Aduh! Perih!”
Saya terbangun di tengah malam.
Ternyata apa yang terjadi. Adik saya sudah siuman dari efek empat suntikan
tadi. Sungguh sensasi malam pertama.
Seru bukan? Bagi temen yang sudah
sunat,
“Jangan sampai rasa malumu hilang
gara-gara bagian kemaluanmu telah hilang”.
Sekian. Salam dari ANAK
SEKOLAHAN.
0 komentar:
Post a Comment